50% Pasien skizofrenia Kambuh (relaps)

Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3 sampai 1 % dan biasanya timbul pada usia sekitar 18 sampai 45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11 sampai 12 tahun sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia (Arif, 2006). Menurut hasil studi Bahar dkk dalam Yani (1999) penderita kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 18,5% artinya dari 1000 penduduk terdapat sedikitnya 185 penduduk dengan gangguan kesehatan jiwa atau tiap rumah tangga terdapat seorang anggota keluarga yang menderita gangguan kesehatan jiwa. Jika hasil studi ini dapat dijadikan dasar, maka tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi peningkatan angka gangguan kesehatan jiwa atau gangguan emosional yang semula berkisar antara 20 sampai 60 per 1000 penduduk, seperti yang tercantum pada sistem kesehatan nasional. Skizofrenia dalam masyarakat umum terdapat 0,2 sampai 0,8%. Bila diproyeksikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih kurang 200 juta jiwa tahun 1997, maka jumlah penduduk yang mengalami skizofrenia ada 400 ribu sampai 1,6 juta orang. Angka yang besar ini menjadi tantangan berat terutama bagi Departemen Kesehatan dalam menangani masalah ini (Maramis, 1994). Angka kekambuhan skizofrenia mengalami kenaikan pada dua bulan terakhir tahun 2007.
Tingginya angka kekambuhan pada skizofrenia disebabkan karena oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang berperan sangat penting adalah hubungan pasien dengan keluarga. Menurut hasil Penelitian di Inggris (Vaugh dalam keliat, 1992) dan di Amerika serikat (Snyder dalam keliat, 1992) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan. Hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah. Terapi keluarga dapat diberikan untuk menurunkan ekspresi emosi. Masalah yang dihadapi adalah karena sebagian besar keluarga klien skizofrenia kurang memahami dan pengetahuan tentang perawatan klien skizofrenia masih rendah.
Menurut teori Object relations theory dikatakan bahwa kebutuhan akan objek relations adalah kebutuhan paling mendasar bagi manusia, sama mendasarnya dengan kebutuhan akan makanan dan seks Scharff (1991). Seorang pasien Skizofrenia, dengan selfnya yang rapuh, juga mencari Object relations tersebut, Object relation yang pertama dan yang paling penting bagi indifidu adalah Object relation dengan keluarganya, maka konflik yang dialami Skizofrenia adalah konflik dengan keluarganya.
Keluarga merupakan jalinan relasi dan ruang hidup anggotanya. Dalam ruang hidup tesebut, para anggota keluarga hidup berkembang dan berelasi satu sama lain. Perubahan ruang hidup tergantung pada relasi para anggotanya. Bila ada relasi yang erat satu sama lain maka ruang hidup akan membesar sedangkan bila ada konflik yang berkepanjangan maka akan menyempit. Ada kaitan erat antara dinamika keluarga dengan proses kemunculan skizofrenia. Sedangkan menurut Jones&Hayward (2004) salah satu faktor terjadinya relapse (kambuh) pada penderita skizofrenia karena kurangnya dukungan sosial dari lingkungannya. Ketidaktahuan keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan skzofrenia keadaan ini disebabkan oleh masih terdapatnya pandangan yang negative (stigma) dan bahwa penyakit skizofrenia tidak dapat disembuhkan. Sikap keluarga dan masyarakat yang mengganggap bahwa bila ada seseorang anggota keluarga yang menderita skizofrenia, hal ini merupakan aib keluarga oleh karena itu penderita skizofrenia banyak yang disembunyikan bahkan dikucikan. Banyak diantara mereka yang masih berpendapat bahwa gangguan jiwa skizofrenia ini sebagai akibat dari larangan yang (Tabu), guna-guna, teluh, santet, kemasukan setan, kemasukan roh jahat (evil spirit), kutukan (curse) dan lain sejenisnya berdasarkan kepercayaan supernatural. Hal ini menimbulkan stigma bagi keluarga sehingga mereka malu mengakui ataupun mencari bantuan yang diperlukan. Arif, (2006) Berdasarkan keterangan dari petugas di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, didapatkan gambaran umum tentang pengetahuan dan sikap keluarga klien Skizofrenia rata-rata masih kurang hal ini ditandai dengan klien yang sudah sembuh dan dipulangkan ke lingkungan keluarga umumnya beberapa hari, minggu, atau bulan di rumah kembali dirawat dengan alasan perilaku klien tidak diterima oleh keluarga klien selalu diawasi, dilarang keluar, selalu dicurigai klien cenderung terisolisir dari pergaulanya dan cenderung menutup diri.
Dari beberapa fenomena di atas maka pasien skizofrenia memerlukan treatment yang komprehensif dan berkesinambungan artinya dalam memberikan treatment dilakukan dengan medis untuk menghilangkan gejala, terapi (psikologis) untuk membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan keluarga, lingkungan social, dan layanan sosial untuk membantu mereka dapat kembali hidup di masyarakat dan menjamin mereka dapat memperoleh akses untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Penulis:
Adhyatman Prabowo, M.Psi*

Resiliensi Lansia Jalanan ( Studi Tetang Gambaran Faktor-Faktor Pendorong Resiliensi).

Masbahah, IF : (2008) Resiliensi Lansia Jalanan ( Studi Tetang Gambaran Faktor-Faktor Pendorong Resiliensi). Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Pembimbing : (1) Siti Suminarti Fasikhah (2) Diana Savitri Hidayati

Kata kunci : Resiliensi, Lansia Jalanan
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi  menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Pada usia senja seseorang membutuhkan perhatian yang besar dari keluarga dan lingkungannya. Usia lanjut seharusnya menjadi masa untuk beristirahat, namun jika kita melihat dalam kehidupan sehari-hari banyak lansia yang terlantar dan terpaksa hidup di jalanan, mereka terpaksa harus bertahan dalam keadaan yang tidak menentu, dirazia oleh satpol PP, bahkan tidak mendapatkan uang sama sekali. Hal tersebut perlu mendapat kajian lebih dalam.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor pendorong resiliensi pada lansia jalanan. Metode penelitian menggunakan tehnik wawancara dan observasi untuk memperoleh data penelitian. Adapun subyek penelitian adalah tiga orang lansia jalanan yang biasanya meminta-minta di alun-alun kota Malang.
Hasil penelitian menunjukkan para lansia jalanan subyek penelitian mampu bertahan dalam kehidupan yang keras dan sulit di jalanan. Kemampuan tersebut disebabkan oleh faktor I Am yang ada pada diri subyek yaitu adanya keyakinan dan pasrah atas apa yang telah ditakdirkan oleh tuhan Yang Maha Esa. selain itu adanya dukungan dari oarng-orang terdekat subyek membuat mereka mampu bertahan. Hal tersebut merupakan faktor I Have yang dimiliki oleh subyek. Faktor lain yang ada adalah I Can di mana faktor tersebut ditampakkkan dengan sikap subyek yang mampu mengelolah perasaan mereka sertamampu menjalin hubungan yang dapat dipercaya dengan orang lain. Ketiga faktor tersebut saling mendukung dan mempengaruhi satu sama lainnya dalam diri subyek lansia jalanan subyek penelitian.

Hubungan antara Sikap terhadap Perubahan Organisasi dan Organizational Citizenship Behaviour

Latifah, Dwi Ayu. 2008. Hubungan antara Sikap terhadap Perubahan Organisasi dan Organizational Citizenship Behaviour (OCB) pada Karyawan di Lingkungan Kanwil DJP D.I Jogyakarta. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Pembimbing: (1) Tulus Winarsunu ; (2) Tri Muji Ingarianti

Kata Kunci: sikap, perubahan organisasi, Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

Organizational Citizenship Behaviour (OCB) merupakan perilaku sukarela karyawan yang menjadi salah satu faktor utama bagi efektivitas fungsi organisasi. Namun, saat ini efektivitas organisasi juga ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan berbagai tuntutan perubahan dari lingkungan sekitarnya. Kemunculan OCB dalam dunia kerja, dapat ditentukan faktor internal berupa kondisi internal individu maupun faktor eksternal berupa kondisi organisasi terkait. Salah satu kondisi internal individu yang berperan adalah sikap karyawan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui hubungan antara sikap terhadap perubahan organisasi dan OCB.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan di lingkungan Kanwil DJP D.I Jogyakarta. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik total sampling, dimana sampelnya berjumlah 69 orang yang merupakan karyawan tetap perusahaan tersebut. Uji validitas menggunakan rumus dengan prosedur korelasi product moment dari Karl Pearson. Indeks validitas untuk skala sikap terhadap perubahan organisasi adalah 0,246 – 0, 645 dan indeks validitas untuk skala OCB adalah 0,260 – 0,701. Uji reliabilitas instrumen menggunakan teknik Alpha Cronbach dengan nilai Alpha untuk skala sikap terhadap perubahan organisasi sebesar 0,893 dan nilai Alpha untuk skala OCB sebesar 0,841. Metode yang digunakan untuk analisa data adalah metode Product Moment.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara sikap terhadap perubahan organisasi dengan OCB pada karyawan dengan nilai koefisien korelasi (r) = 0, 589 dan probabilitas kesalahan (p) = 0,000. Artinya pada karyawan yang memiliki sikap terhadap perubahan organisasi yang negatif ditemukan juga memiliki OCB yang rendah, begitu pula sebaliknya. Sementara sikap terhadap perubahan organisau memberikan sumbangan efektif terhadap OCB sebesar 34, 7 %, sedangkan sisanya sebesar 65, 7 % berasal dari variabel lain yang tidak diteliti.

Berminat untuk menlanjutkan Penelitian ini…?
kirim pesan ke email: adhyatmanprabowo@yahoo.com
atau hub 0856736557556